Allah Satukan Hati Kami di Monas [2]


Kisah lain datang dari Surabaya.  Hari itu, Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur,  Ainul Yaqin berangkat ke Jakarta dengan penerbangan pertama pagi hari saat hari Jumat 02 Desember 2016, tepat Aksi Super Damai belangsung.
“Yang saya kaget, saat kami turun di bandara, ratusan orang yang tadi di pesawat, tiba-tiba semua berganti baju putih-putih saat turun di bandara. Subhanallah, rupanya tadi satu pesawat itu tujuannya sama,” ujarnya Pengurus Wilayah MUI Jawa Timur ini menceritakan pengalamannya.
Ada pula Ibu Sri, seorang nenek berusia 72 tahun asal Surabaya, yang mewajibkan kelima anaknya untuk ikut Aksi Bela Islam.
”Di usia ini, saya sendiri sudah siap mati untuk membela agama, apalagi kalau al Quran kami dinista,” katanya sambil mengepalkan tangannya.
Yang tak kalah menakjubkan, adalah pemandangan mata seorang santri Ma’hadul Qur’an wal Qiroat az-Zikra bernama Anugerah. Di tengah keterbatasan fisiknya, ia bahkan merangkak dari rumahnya untuk datang ke Monas.
Karena mengalami keterbatasan fisik, (maaf) ia harus berjalan dengan kedua tangan dan kedua kakinya menuju Monas. Tak ada rasa lelah atau meminta bantuan, Anugerah ikut merapatkan barisan bersama sedikitnya lebih 2 juta umat Islam lainnya.
“Karena saya penghafal Qur’an, dan insya Allah al-Qur’an sudah menyatu dengan hidup dan diri saya. Jadi, jika saya enggak ikut Aksi Super Damai 212 kemarin, saya merasa diri ini sangat terhina,” ungkapnya penuh semangat saat berbincang dengan Islamic News Agency (INA).
Yang menjadi pertanyaan, jika bukan karena Allah, siapa mampu menggerakkan semua ini?
Monas Rasa Makkah
Aksi Bela Islam III atau popular disebut Aksi 212 (mengabadikan peristiwa aksi tanggal 02 Desember 2016) selain membangkitkan gerakan massa Islam di seluruh Indonesia untuk datang di Jakarta, juga melahirkan solidaritas ukhuwah antar elemen Islam tanpa melihat status, latar-belakang dan menghilangkan sekat perbedaan yang selama ini sering terjadi.
Hal ini dirasakan peneliti Ahmad Kholili Hasib, peneliti pada Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) yang menyaksikan langsung selama aksi di Monas.
Penulis muda asal Bangil Pasuran Jawa Timur itu sengaja datang dari kampungnya datang dan menyaksikan langsung acara yang sebelumnya telah banyak digembosi polisi, tokoh ormas bahkan media massa dengan berbagai tuduhan kurang nyaman ini.
Dari Menteng, usai shalat Subuh ia bersama rombongannya berjalan menuju lokasi. Tepat  pukul 05.00,  ia  mendapati 20 orang anak muda, usianya 20 tahunan berjalan dari Cikini meneriakkan Allahu Akbar berkali-kali. Saat  bertemu dengan jamaah lain mereka menunjukkan sikap hormat, bersalaman dan lempar senyum. Padahal mereka tidak saling kenal.
Ia makin kaget, satu jam berikutnya, rombongannya yang semula hanya dengan puluhan orang, tiba-tiba membengkak saat  melewati depan Gedung Proklamasi.
Ribuan orang keluar dari gang-gang, gedung, bergabung dengan gelombang orang di depannya bergerak perlahan dari Jalan Diponegoro, Stasiun Gondangdia sampai Cikini. “Barisan kami bertambah panjang,” ujarnya.
Yang menakjubkan, selama perjalanan menuju Monas, ia menyaksikan ratusan orang yang tidak saling mengenal itu saling tebar senyum saling sapa, saling berbagi, saling beramal dan saling mengingatkan. Suasanya mirip umrah dan haji di Tanah Suci Makkah al Mukarramah.
”Ini benar-benar seperti suasana haji, bahkan lebih,” kata seorang bapak sambil menenteng poster “Tangkap dan Penjarakan Ahok!”.
Jika di Makkan orang banyak berbagi khas makanan Arab, di sini, ratusan orang (bahkan ribuan) tak henti-hentinya memberikan hidangan entah datang dari mana.
Pantauan INA, mendekati Monas, suasana semakin kentara.Dari balik kawat di seberang tenda ada yang berbagi nasi ayam, minuman gratis, jus, roti, sampai pijat gratis. Semuanya ada.
”Ayo siomay gratis,” kata si ibu depan Mc. Donald Thamrin menyeru, segera dikerubuti ratusan orang. Di ujung Pejambon, seorang polisi muda tak nampak malu mengambil air minum dan makanan dari para peserta aksi damai. Di depan Gambir, Ibu-ibu asal Bekasi membagikan gerombolan anggur merah yang masih mengkilap.
Di antara silang Monas, seorang pedagang gerobak berurai air mata. Tiba-tiba seseorang membeli semua dagangannya dan meminta membagikan secara gratis.
”Baru sekarang ini saya melihat kejadian seperti ini,” katanya.
Ormas Islam membagikan makanan kepada peserta aksi. [Foto: Sobah] 
 Pejaja asongan perintil kacang, hingga mangga plus garamnya tak ketinggalan bajir rezeki. Di sudut-sudutnya, seorang tentara lahap bersantap bersama para laskar.
”Kalau kaya gini nggak bakal ada yang kelaparan kehausan, padahal massa ada jutaan,” kata Tukang Mie Ayam yang sudah diborong.
Semilir angin lembut berkawan langit cerah benar-benar membuat suasana semakin hangat. Zikir dan doa terlantun, menembus kaki langit, hingga hujan, yang menurut sang Nabi adalah rahmat itu turun mengguyur lembut setiap jengkal sekitar Monas membuat suasana begitu syahdu.
Tua, muda, artis, pejabat, karyawan, pengusaha, dosen, dokter, mahasiswa, peneliti hingga beragam suku dan daerah tumplek blek semua dengan satu kesadaran: Membela al Quran yang dinista.
”Sebagian dari kita tinggalkan sanak saudara, keluarga rela jauh-jauh ke sini. Kami hanya ingin keadilan, agar si penista segera ditahan hari ini juga,” kata pria asal Ambon kita, Irmansyah.
Jika di Makkah, orang berbondong-bondong menangis di kaki Ka’bah, kita melihat di sini mereka bersimpuh bermunajat di kaki langit. Wisata ruhani yang menggetarkan jiwa, begitu nikmat ketika harus bersujud, berjalan kaki tanpa beban dalam tawaf hingga sai di Shafa dan Marwa. Hanya kedunguan yang tersisa bila ada yang mengatakan mereka yang tulus memenuhi panggilan jiwa yang tak ternila itu dibayar dengan secuil materi.
”Saya saja ongkos sekali jalan 1,6 juta, itu uang pribadi saya, gimana dibayar, saya yang malah keluar uang,” kata Irmansyah. Ibu Sri, nenek asal Surabaya kita pun mengatakan total lebih dari 15 juta terpakai bersama anak-anaknya untuk berangkat.
Dengan ketulusan, setiap peserta yang berlelah-lelah, baik secara fisik maupun materi, dapat melakukannya tanpa beban apapun. Menaiki pesawat, menaiki bus, bersepeda motor bahkan berjalan kaki, menyambut para tamu, berbagi makanan, berdoa, berzikir, menangis, semua melaluinya dengan tulus tanpa bergantung pada siapapun kecuali pada sang Maha Esa.
“Aksi 212 memiliki energi luar biasa. Salah satu yang nampak adalah energi persaudaraan Muslim. Kaum Muslimin dari berbagai latar belakang organisasi, pendidikan, profesi, jama’ah, dan  suku  yang berbeda seperti saudara kandung,” ujar Kholili.
Suasana ini, menurut Kholili, mengingatkannya pada pesan hadits dari Rasululllah Shallahu ‘Alaihi Wassallam yang berbunyi, “Ruh-ruh itu ibarat prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal di antara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.”
Di mana kita akan melihat shalat Jumat terbesar sepanjang sejarah umat ini? Yang sesaknya memenuhi jalanan protokol ibu kota mengular empat sisi Monas, Patung Kuda, Budi Kemuliaan, Tanah Abang,  Medan Merdeka Selatan, Istiqlal, Kwitang, Pasar Baru, Senen, Tugu Tani, Haji Agus Salim, Menteng,  hingga Thamrin dan massa yang terus berdatangan dari Bundara HI tak henti-henti.
Karena membludaknya massa, disulap sudah, perkantoran hingga Kafe Starbucks Coffee Sarinah seberang McD hingga kantor-kantor menjadi shaf-shaf shalat yang rapat hingga tangga-tangganya. Tak kuasa, air mata gerimis. Ya Rabb, hingga di kafe –kafe itu, semua menjadi tempat sujud!
”Kapan lagi kita bisa bergabung bersama jutaan kaum muslimin di sini,” kata seorang karyawan berbaju batik yang sehari-harinya ngantor di sekitar Sarinah. Ia biarkan dirinya dalam kuyup bersama air yang terus mengalir.
Tak terasa, jutaan tetesnya membasahi jutaan manusia di atas jalanan di bawah naungan kumandang azan Jum’at dua kali menggantung di atas langit Ibu Kota. Syahdu. ”Kalau nggak ada hujan, semua di jalan, nggak sampai di kantor-kantor dan kafe, bisa sampai HI ini,” kata seorang warga sambil menunjuk Hotel Grand Indonesia yang nampak selempar mata memandang dari Sarinah.
Suasana semakin syahdu ketika hujan semakin deras mengguyur, bersahutan dengan khutbah Habib Rizieq utamanya tentang surat Al Maidah dan penistaan agama.
[Foto: Rifa’i Fadhly]
 Pemandangan dramatis kembali berulang. Tak gentar sejengkal pun massa akan lebatnya hujan. Semua bergeming, semakin banyak barisan terisi. Semua duduk beralas apa saja, bahkan beralaskan aspalt yang mengkilap mengalirkan air.
Di buntut shaf, selemparan batu dari Sarinah, tiga orang bocah kuyup badannya dengan poni mengkilat berjejer rapi di jidatnya. Lipatan baju putihnya mengkerut bak kerupuk disiram, sedangkan celana merahnya dibiarkan menampung guyuran air dari langit.
Sembab matanya, tapi bukan karena hujan. Kakinya menekuk, bersimpuh kepada sang Maha. Ya Rabb, anak SD mana yang rela berbasah-basah beralas secompang kardus basah selebar kening mereka? Dan kini semua itu nyata!
Semua hanya bisa tergugu. Air mata tak terasa tumpah berkali-kali, menyaksikan kekuasaan sang Maha, melihat umat yang begitu syahdu. Orang tua mana yang begitu bangga melihat anak-anaknya ini bermunajat Dengan khusyuk ? Anak-anak berseragam merah-putih ini mendengarkan ceramah dengan mata yang bukan lagi berkaca, tapi sudah mendanau.
Momen yang tak mungkin dijangkau oleh nalar. Ketika jutaan manusia bergeming, bermunajat, membiarkan dirinya kuyup oleh limpahan ramhmatNya. Tangannya terangkup berdoa, para anak yang dengan syahdu terisak, air mata dan hujan sudah tercampur baur.
Ketika semua menyemut syahdu, merintih dalam berdiri, rukuk dan sujud. Hujan semakin lebat, selebat tangis yang pecah ketika imam membaca surat al Maidah hingga Qunut nazilah yang begitu panjang.
“Sekarang kita membela al Quran, kelak al Quran semoga menjadi pembela kita di hari Kiamat,” ujar Ustad Arifin Ilham dari panggung utama.
Meski hujan menunjukkan janjinya, namun lautan wajah dalam balutan baju putih-putih itu tak sedikitpun menampakkan wajah ‘mendung’. Sebaliknya, guyuran hujan justru disambut senyum dan kekhusukan jutaan massa. Semua bergembira kegirangan. Shalawat serta salam menggema mengisi ruang di antara belantara beton penantang langit ibu kota.
Sayup-sayup terdengar senandung rindu menyesakki seluruh jalanan Ibu Kota dari Thamrin hingga Sudirman di Bundaran Indonesia.
“al Quran imam kami…al Quran pedoman kami…al Quran petunjuk kami…al Quran satukan kami…!”
“Aksi Bela Islam, Aksi Bela Islam, Aksi Bela Islam Allah Allahu Akbar”
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar Allah Allahu Akbar!”
”Ini semacam hadiah umat Islam Indonesia bahwa mereka benar-benar mencintai agamanya, mencintai negerinya, dan mereka berdoa untuk negeri,” kata seseorang peserta sambil mengusap air matanya.
Aksi simpatik ini berakhir usai shalat Jumat dengan imam dan khatib Imam Besar FPI dan Ketua Dewan Pembina Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI)  Habib Rizieq Shihab  dengan muazin Kapolres Cirebon Kota, AKBP Indra Jafar. Dalam khutbahnya, Rizieq menyampaikan datangnya jutaan umat Islam dalam Aksi Bela Islam III sebagai karunia Allah. Mereka datang untuk memuliakan Al-Quran, bukan untuk menghancurkan NKRI. Sebab Al-Quran adalah jantung dari agama Islam.
“Hari ini jutaan umat Islam datang ke Jakarta bukan untuk menghancurkan NKRI, justru untuk membela NKRI, membela Al-Quran, kebhinekaan yang koyak,” ujar Rizieq.* (BERSAMBUNG)
Label: ,

Posting Komentar

[facebook][disqus]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.